Boyolali - tentang ampel
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Ampel dan Boyolali Tersenyum Kabupaten Boyolali
(Bahasa Jawa: Boya-
lali, boya berarti
tidak, lali berarti
lupa, dan secara
harafiah: "tidak
lupa". Makna kata
Boyolali mengandung
maksud bahwa para
pelaku pemerintahan
dalam menjalankan
tugas dan
wewenangnya selalu
waspada, demikian
juga rakyat selalu
patuh, taat dan
penuh kewaspadaan
dalam melaksanakan
kewajibannya.),
adalah sebuah
kabupaten di
Provinsi Jawa
Tengah . Ibukotanya
adalah Boyolali,
terletak sekitar 25
km sebelah barat
Kota Surakarta.
Kabupaten ini
berbatasan dengan
Kabupaten
Semarangdan
Kabupaten Grobogan
di utara; Kabupaten
Sragen, Kabupaten
Karanganyar
, Kabupaten
Sukoharjo, dan Kota
Surakarta (Solo) di
timur; Kabupaten
Klaten dan Daerah
Istimewa
Yogyakarta
di selatan; serta
Kabupaten Magelang
dan Kabupaten
Semarang di barat.
Kabupaten ini
termasuk kawasan
Solo Raya.
Asal mula nama
BOYOLALI menurut
cerita serat Babad
Pengging Serat
Mataram, nama
Boyolali tak
disebutkan. Demikian
juga pada masa
Kerajaan Demak
Bintoro maupun
Kerajaan Pengging,
nama Boyolali belum
dikenal. Menurut
legenda nama
BOYOLALI
berhubungan dengan
ceritera Ki Ageng
Pandan Arang (Bupati
Semarang pada abad
XVI. Alkisah, Ki Ageng
Pandan Arang yang
lebih dikenal dengan
Tumenggung
Notoprojo
diramalkan oleh
Sunan Kalijogo
sebagai Wali penutup
menggantikan Syeh
Siti Jenar. Oleh
Sunan Kalijogo, Ki
Ageng Pandan Arang
diutus untuk menuju
ke Gunung Jabalakat
di Tembayat (Klaten)
untuk syiar agama
Islam. Dalam
perjalananannya dari
Semarang menuju
Tembayat Ki Ageng
banyak menemui
rintangan dan batu
sandungan sebagai
ujian. Ki Ageng
berjalan cukup jauh
meninggalkan anak
dan istri ketika
berada di sebuah
hutan belantara
beliau dirampok oleh
tiga orang yang
mengira beliau
membawa harta
benda ternyata
dugaan itu keliru
maka tempat inilah
sekarang dikenal
dengan nama
SALATIGA. Perjalanan
diteruskan hingga
sampailah disuatu
tempat yang banyak
pohon bambu kuning
atau bambu Ampel
dan tempat inilah
sekarang dikenal
dengan nama Ampel
yang merupakan
salah satu
kecamatan di
Boyolali. Dalam
menempuh
perjalanan yang jauh
ini, Ki Ageng Pandan
Arang semakin
meninggalkan anak
dan istri. Sambil
menunggu mereka,
Ki Ageng beristirahat
di sebuah Batu Besar
yang berada di
tengah sungai. Dalam
istirahatnya Ki Ageng
Berucap “ BAYA WIS
LALI WONG IKI” yang
dalam bahasa
indonesia artinya
“Sudah lupakah
orang ini”.Dari kata
Baya Wis Lali/ maka
jadilah nama
BOYOLALI. Batu besar
yang berada di Kali
Pepe yang
membelah kota
Boyolali mungkinkah
ini tempat
beristirahat Ki Ageng
Pandan Arang.
Mungkin tak ada
yang bisa menjawab
dan sampai sekarang
pun belum pernah
ada meneliti tentang
keberadaan batu ini.
Demikian juga
sebuah batu yang
cukup besar yang
berada di depan
Pasar Sunggingan
Boyolali, konon
menurut masyarakat
setempat batu ini
dulu adalah tempat
untuk beristirahat
Nyi Ageng Pandan
Arang. Dalam
istirahatnya Nyi
Ageng mengetuk-
ngetukan
tongkatnya di batu
ini dan batu ini
menjadi berlekuk-
lekuk mirip sebuah
dakon (mainan anak-
anak tempo dulu).
Karena batu ini mirip
dakon, masyarakat
disekitar Pasar
Sunggingan
menyebutnya mBah
Dakon dan hingga
sekarang batu ini
dikeramatkan oleh
penduduk dan
merekapun tak ada
yang berani
mengusiknya.
Pasca Perang Jawa
(1825-1830),
pemerintah Hindia-
Belanda makin
memperketat
keamanan untuk
mencegah
terulangnya
pemberontakan.
Kondisi masyarakat
Jawa yang semakin
miskin mendorong
terjadinya tindak
kejahatan (pidana) di
berbagai tempat.
Menghadapi hal itu
pemerintah kolonial
menekan raja
Surakarta dan
Yogyakarta agar
menerapkan hukum
secara tegas. Salah
satunya dengan
membentuk lembaga
hukum yang
dilengkapi dengan
berbagai pendukung.
Di Kasunanan
Surakarta dibentuk
lembaga Pradata
Gedhe, yakni
pengadilan kerajaan
yang menjadi pusat
penyelesaian semua
perkara. Lembaga ini
dipimpin oleh Raden
Adipati (Patih) di
bawah pengawasan
Residen Surakarta.
Dalam
pelaksanaannya,
Pradata Gedhe
mengalami kesulitan
karena volume
perkara yang sangat
besar. Sunan
Pakubuwono dan
Residen Surakarta
memandang perlu
melimpahkan
sebagian perkara
kepada pemerintah
daerah. Mereka
sepakat membentuk
pengadilan di tingkat
kabupaten yang
diberi nama Pradata
Kabupaten.
Pada tanggal 16
Februari 1874, Sunan
Pakubuwono IX dan
Residen Surakarta,
Keucheneus,
membuat perjanjian
pembentukan
Pradata Kabupaten
untuk wilayah
Klaten, Boyolali,
Ampel, Kartasura,
Sragen dan
Larangan. Surat
perjanjian tersebut
disahkan pada hari
Kamis tanggal 7 Mei
1874, Staatsblad
nomor 209. Pada Bab
I surat perjanjian,
tertulis sebagai
berikut :
Ing Kabupaten
Klaten, Ampel,
Boyolali, Kartasura
lan Sragen, apadene
ing Kawedanan
Larangan kadodokan
pangadilan
ingaranan Pradata
Kabupaten.
Kawedanan
Larangan saikiki
kadadekake
kabupaten ingaranan
Kabupaten
Sukoharjo . (Di
Kabupaten Klaten,
Ampel, Boyolali,
Kartasura dan
Sragen, dan juga
Kawedanan
Larangan dibentuk
pengadilan yang
disebut Pradata
Kabupaten.
Kawedanan
Larangan sekarang
dijadikan kabupaten
dengan nama
Kabupaten
Sukoharjo )..
0 Response to "Boyolali - tentang ampel"
Posting Komentar